This blog was inspired by a quote from the legendary philosopher Rene Descartes; I think, therefore I am; cogito ergo sum; je pense donc je suis. And now I’m presenting my original thoughts; the Tiara Thoughts. Please, make yourself at home.

28.10.08

Hedonism Preacher a.k.a Pendeta Hedonis

Based on Wikipedia, hedonism is the philosophy that pleasure is of ultimate importance, the most important pursuit. The name derives from the Greek word for "delight". The basic idea behind hedonistic thought is that pleasure is the only thing that is good for a person. This is often used as a justification for evaluating actions in terms of how much pleasure and how little pain (i.e. suffering) they produce. In very simple terms, a hedonist strives to maximize this total pleasure (pleasure minus pain).

Biarkan saya menerjemahkannya secara bebas (baca: ngawur) untuk Anda: Menurut situs Wikipedia, hedonisme adalah filosofi; bahwa kesenangan adalah kepentingan yang terutama, dan sesuatu yang terpenting untuk dikejar. Secara etimologis, hedonis berasal dari kata Yunani, yang berarti “kesenangan”. Prinsip utama dari hedonisme yakni bahwa kesenangan adalah satu-satunya hal penting yang terbaik untuk seseorang. Prinsip ini kerap menjadi justifikasi untuk menilai suatu tindakan dalam terminologi di mana kesenangan dilebih-lebihkan, dan kesengsaraan diminimalisirkan. Intinya, penganut paham ini akan berusaha keras untuk memaksimalkan kesenangan yang bisa ia dapatkan (Jika Anda memiliki versi terjemahan yang lebih baik, jangan ragu untuk memberikan pencerahan; I’m totally open for any critics).

Selama ini, penganut paham hedonis kerap diidentikan dengan mereka yang gemar menghamburkan uang untuk berpelesir ke luar negeri (tentu dengan menggunakan layanan penerbangan nomor satu), menyambangi obyek-obyek wisata termoderen, sembari berbelanja barang-barang mewah yang harganya gila-gilaan. Atau, clubber yang gemar bergentayangan dari satu tempat hang out ke hang out lainnya. Dan, socialite yang setiap saat menghadiri acara pesta dengan tampilan yang termuktahir.Lambat-laun, filosofi hedon ternyata juga telah menjangkiti mereka yang berprofesi sebagai pendeta, atau dalam terminologi yang lebih kristiani, hamba Tuhan. Hamba, dalam bahasa Inggis (deacon), berarti orang yang melayani majikan. Dalam bahasa Yunani (doulos), hamba berarti orang yang mengabdikan diri kepada orang lain, dan tidak memiliki hak atas dirinya, alias tidak dapat memedulikan kepentingannya sendiri. Ini berarti, seorang hamba Tuhan adalah orang yang melayani Tuhan tanpa memedulikan kebutuhan dirinya sendiri, sebab ia tidak memiliki hak untuk dirinya sendiri.

Masalahnya, Tuhan adalah mahluk spiritual alias tidak memiliki perwujudan fisik (kecuali tatkala Ia melanglang buana di dunia dan mengambil rupa manusia bernama Yesus), jadi bagaimana seorang hamba Tuhan dapat melayani Tuhan, jika ia sendiri tidak dapat melihat Tuhan? Jawabannya, dengan melayani manusia, yang adalah representasi dari Sang Pencipta. Arti melayani di sini bukan seperti yang dilakukan seorang PRT terhadap majikannya, atau seorang pelayan restoran terhadap pengunjungnya. Melainkan, bagaimana hamba Tuhan dapat melayani kebutuhan rohani jemaatnya.

Sekarang kita masuk ke dalam masalah kedua: yakni perilaku hamba Tuhan yang sama sekali tidak mencerminkan perilaku sebagai hamba. Betapa tidak, tak jarang saat melayani, seorang hamba Tuhan penganut filosofi hedon, minta difasilitasi dengan mobil dan rumah mewah, hotel berbintang, penerbangan kelas bisnis, dan pelbagai kemewahan lainnya. Saya tahu secara pasti beberapa pendeta di Jakarta---kebanyakan jemaat dari gereja besar yang ternama--- yang kerap menuntut ini-itu (termasuk meminta perlakuan khusus bak VIP)---saat sedang melayani. Padahal, menjadi hamba sejatinya memastikan kebutuhan majikan atau orang yang dilayaninya terpenuhi, bukan sebaliknya!

Tak cukup hanya dengan memiliki pelbagai barang mewah, pendeta hedon beserta keluarganya ini, juga tak sungkan mempermak tubuh mereka dengan treatment bernilai jutaan rupiah; mulai dari mencangkok rambut (atau hair extension), memutihkan gigi, memuluskan wajah, dan lain-lain. Kemudian, mengenakan busana bermerek dengan tren termuktahir, termasuk pernak-perniknya: kacamata, tas, dan sepatu, dan gadget teranyar.

Seorang teman saya, yang berprofesi sebagai tour leader, pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kelakuan seorang pendeta hedon dari Tanah Air, yang keranjingan memborong berlian saat memimpin tur pelayanan di Tanah Suci. Belum lagi, saat pendeta bersama keluarganya---dengan menaiki mobil Limousine---tiba di toko tersebut, seketika rombongan dari grup lain yang tengah berada di dalam toko, berhamburan ke luar demi menyediakan space bagi rombongan VIP itu.

Baik, saya tidak mau terus-menerus mengoceh soal kelakuan gendeng pendeta hedon dari negeri sendiri. Meski mulut saya gatal rasanya, ingin membeberkan jati diri para hamba Tuhan yang hedon ini. Tapi mohon maaf, saya tidak memiliki bekingan di aparat kepolisian ataupun lembaga pengadilan, yang dapat saya manfaatkan apabila hamba Tuhan yang saya maksud ternyata berniat menuntut saya di meja hijau atas dalil pencemaran nama baik.

Saya juga tidak ambil pusing dengan adagium: dilarang mempergunjingkan hamba Tuhan yang diurapi. Sebab, apa yang saya beberkan barusan adalah fakta, bukan desas-desus yang tak berdasar. Dan ini, menurut saya, perlu diungkapkan. Karena, bagaimana mungkin seorang hamba Tuhan di Indonesia bisa hidup mewah, sementara kebanyakan rakyat (mungkin termasuk jemaat) hidup pas-pasan. Jadi, siapakah yang sebetulnya menyandang predikat hamba dalam arti sebenarnya?

No comments: